Selasa, 22 Mei 2012

ketegaran

KETEGARAN HATI SEORANG IBU

Kuhirup udara pagi yang begitu sejuk dan segar. Kusibak kelambu abu-abu yang sejak satu bulan lalu belum kuganti. Kutengok ke tempat tidur, putriku masih tertidur lelap. Kubasuh mukaku dengan air wudhu yang sedikit membeku. Udara kota Lembang memang membuat orang malas berjalan dan bangun di pagi hari. Namun itu tidak bagiku, karena setiap waktu aku harus berjuang. Berjuang menghidupi keluargaku, khususnya putriku, Syahidah.

Setelah menunaikan shalat subuh sendiri, aku mengelus dan mengecup pipi putriku tersayang. Kelak, aku yakin dia akan menjadi wanita yang hebat. Walaupun kita dari keluarga miskin, tapi aku menaruh kepercayaan lebih padanya. Syahidah adalah amanah yang diberikan Robbku yang harus aku jaga walaupun dengan cucuran keringat dan darah.

Suamiku telah meninggal pada bulan Ramadhan tahun lalu. Kehidupan keluargaku tergolong miskin, namun hal itu tidak membuat perjuangan hidup kami luntur begitu saja. Aku sadar, bahwa tanpa kerja keras, pasti akan sia-sia hidup ini.
“Ummi.. Hidah ingin bantu ummi..” terdengar suara si kecil ketika melihatku sibuk mengaduk adonan kue yang akan kujajakan nanti siang.

“Hidah sayang.. Biar ummi saja yang mengerjakan. Sekarang Hidah pergi mengaji saja ya? Bukankah Hidah ada jadwal TPA ya?” tanyaku
Syahidah kecil mengangguk-angguk setuju dan kemudian melesat pergi dengan sepeda mininya. Aku hanya tersenyum kecil melihat tingkah buah hatiku.

Terkadang, aku merasa bahwa hidup ini membosankan dan menyedihkan. Ingin rasanya segera pergi meninggalkan dunia yang fana ini. Terkadang pula, aku merasa bahwa Dia tidak adil. Ingin mengeluh dan menangis. Tetapi aku segera sadar, bahwa setiap detik aku selalu diawasiNya dan dinilai olehNya, apakah aku sabar dalam menghadapi cobaan hidup atau tidak.

“Ratih.. kamu kenapa tidak mencari pendamping lagi? Bukankah kamu masih muda dan cantik? Pasti masih banyak ikhwan yang mau menjadikanmu istrinya” kata Yuni ketika aku bertemu dengannya di serambi masjid.

“Bukan tidak mau mencari pendamping, tapi aku harus membiayai putriku dan pastinya semua ini berat. Dan aku tidak mau meletakkan bebanku pada siapapun. Biarlah aku yang memikulnya. Yang terpenting adalah, aku bisa mencari rezeki yang halal dan toyyib. Perkara pendamping hidup lagi, aku tidak mau terburu-buru. Biarlah Allah yang mempertemukan” jawabku.

“O iya, kamu sekarang bekerja dimana ukht? Apa masih berjualan kue?”
“aku masih tetap berjualan kue, Yuni. Walaupun sedikit, tapi Alhamdulillah masih bisa kugunakan untuk makan bersama Syahidah”
“Kenapa tidak melamar pekerjaan saja? Mungkin saja bisa memiliki penghasilan yang jelas.”

“aku tidak mempunyai ijazah tinggi Yuni.. Kamu tau sendiri kan, aku ini lulusan Tsanawiyah dan hanya mempunyai kemampuan baca tulis saja”
“Oh, ya sudah kalau begitu”

Suatu hari, aku mendengar bahwa ada seorang ikhwan yang ingin menikah denganku. Namun dengan lembut aku menolaknya. Bukan karena fisik atau kedudukannya, melainkan agama. Aku menyadari bahwa agama dari seorang ikhwan haruslah lebih dari akhwat. Bukan menyepelekan, tapi aku yakin bahwa setiap detik dalam hidupku sekarang hanya kupersembahkan untuk-Nya.

Setiap melihat syahidah, aku merasa bahwa separuh jiwaku ada pada dirinya. Aku merasa bahwa Syahidah adalah bagian dari hidupku. Aku ingin kelak dia sepertiku, keras dalam memperjuangkan hidup. Namun yang lebih penting adalah imannya. Jangan sampai imannya tergadaikan.

Kini, Syahidah telah beranjak dewasa. Dan aku pun selalu menerapkan padanya mengenai akhlak islam. Syahidah yang pandai dan manis senantiasa membuat kakiku tak surut. Dengan semangat yang menggebu-gebu aku membina dia setiap hari. Suatu ketika dia bertanya padaku,

“Ummi, kenapa ummi tidak mencari abi lagi?” tanyanya dengan wajah polos dan lugu.
Mendengar pertanyaan itu, aku pun tertawa. Ada-ada saja pertanyaan si kecil ini. Dapat dari mana pertanyaan semacam itu? Pikirku.
“Maksudnya Hidah apa, sayang..? ummi tidak paham”
“Ummi..ummi.. apa ummi tidak merasa kesepian tanpa pendamping lagi?”
“Hidah.. kan disini masih ada Hidah.. dan insyaAllah, ummi tidak akan pernah kesepian..”
“Kalau Hidah tidak ada dan tidak bersama ummi, ummi gimana? Apa ummi akan tetap sendirian?”
“Ummi tidak akan menikah lagi, sayang.. kan hidup ummi hanya untuk Allah.. dan hidah adalah amanah Allah, pastinya harus ummi jaga..”

Syahidah mengangguk-angguk cerdas. Sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu lagi padaku, tapi aku tak tahu. Entah kenapa perasaanku menjadi tidak enak.
Syahidah yang masih beranjak umur 11 tahun mengatakan padaku, “bahwa hidup ummi hanya untuk Allah. Titik. Bukan untuk manusia, apalagi Syahidah..!”
Dari kata-kata dia yang aneh itu, aku hanya tersenyum kecil.

Suatu sore, aku mendengar suara keras dari luar. Seorang pintu mengetuk pintu rumahkau. Aku pun sedikit kaget. Siapa gerangan yang mengetuk pintu tersebut.
“apa benar anda ibu Ratih?” kata seseorang berpakaian seragam.
“Benar, ada apa?”tanyaku.
“Ibu harus bersabar ya, putrid anda mengalami kecelakaan parah. Sekarang masih dirujuk ke rumah sakit. Kami mohon ibu segera ikut kami dan mengurus segala administrasi maupun asuransi.”

Seketika aku pun shock dan tidak dapat membayangkan yang terjadi pada putriku di sana. Aku duduk dan diam lemas serasa tidak ada lagi daya dan tenaga dalam hidup. Aku merasa kosong dan hampa. Tidak terasa air mata ini mengalir deras.

Setelah tiba di rumah sakit, aku melihat tubuh si kecil terbaring lemah. Menurut seorang saksi mata, putriku meyeberang jalan yang sepi dan tiba-tiba ada mobil yang melaju kencang sehingga menabrak tubuh mungil si kecil. Aku hanya terdiam, istighfar, dan berdo’a semoga di diberi kesempatan untuk membuka mata kembali.

“putri anda tidak bisa tertolong..” kata dokter yang menangani putriku itu.

Aku menunduk lemah. Hancur sudah semua harapanku. Semua cita-citaku. Semua impianku untuk mencetaknya menjadi insaniah yang rabbani. Hanya 11 tahun dia diberi kesempatan hidup oleh-Nya.
Apakah ini keadilan? Aku terdiam. Namun, aku masih mendengar dan teringang kata-kata dia. Bahwa hidup ini semuanya untuk Allah, bukan untuk manusia. Aku merasa putriku adalah pribadi yang sukses kubentuk menjadi insan yang rabbani. Kuseka air mata, kuhampiri jasad anakku, kucium pipi dan kening mungilnya. Aku do’akan dia dan segera aku melangkah pasti ke meja administrasi untuk segera membawa ke rumahku.

Tak mau kutunjukkan perasaan sedih yang berlebihan, karena Dia-lah yang menilai segalanya. Sekarang, aku yakin dia telah tenang di alamnya. Semoga ummimu dapat menyusulmu nak!


















































Tidak ada komentar:

Posting Komentar