Selasa, 22 Mei 2012

untukmu

UNTUKMU IBU


Teriakan petir bergemuruh. Kilat saling berkejar-kejaran. Air mata langit mulai mengalir deras. Matahari terselimuti awan mendung. Sepanjang hari hujan mengguyur jalan ARH dan sekitarnya. Tak banyak aktivitas yang dilakukan di saat seperti ini. Hanya menatap jalan yang tampak sepi dari jendela kamar. Jalanan yang biasanya dipenuhi kendaraan bermotor kini tampak lengang. Hampir tak ada satu pun kendaraan yang melintas. Sepi dan sunyi. Keadaan yang tak semestinya terjadi. Hanya terdengar rintihan air hujan dan suara petir yang menakutkan.

Masih terdengar rintihan hujan. Hampir setiap hari selalu terdengar rintihan itu. Kadang rintihan itu begitu memilukan dan menyanyat hati, membuat mereka yang mendengar merasa ketakutan. Rintihan yang diiringgi dengan petir dan kilat membuat hati menjadi kerdil. Kadang juga rintihan itu dapat membuat diri hanyut terbawa kesejukan alam, rasa kantuk akan kembali beraktivitas.

Tatapan kosong masih mengarah ke jalanan. Terlihat beberapa anak kecil berlarian, menyusuri gang-gang kecil di sana. Mereka saling berteriak satu sama lain. Bercanda dengan sahabat karib. Raut wajah mereka memancarkan kegembiaraan yang begitu dalam. Tak ada beban yang ditanggung. Bebas dan lepas. Mudah sekali melakukan apa yang mereka suka. Tak ada yang bisa melarang mereka. Kesenangan dan kegembiraan selalu tersenyum pada mereka, anak-anak kecil tanpa dosa.

Sekelebat bayangan itu muncul kembali. Bayangan sosok wanita paruh baya yang selalu mengganggu pikiran. Sosok itu selalu tersenyum padaku. Senyum hangat yang mengingatkanku pada kampung halaman. Asri dan nyaman sekali berada di sana. Tanpa polusi dan macet. Udara yang bersih masih dapat ditemukan, dihirup dalam-dalam, dihembuskan sambil melepas penat karena kesibukan diri. Gemericik air masih terdengar bebas. Alunan melodinya sangat merdu. Hati gundah gulana dapat terobati karenanya. Kampung halaman yang kurindukan.

Sudah 3 tahun, aku meninggalkan rumah dan ibuku. Hanya untuk mencari gelar sarjana pendidikan. Tak bisa kupungkiri bahwa aku pergi ke sini hanya untuk menuruti keinginan ibuku. Itu awal dari tujuanku ke sini. Ibu ingin sekali mewujudkan cita-citanya, menjadi seorang guru. Namun, hal itu tak pernah tercapai. Lagi-lagi faktor biaya yang menjadi alasan utama. Alasan seseorang tidak bisa melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.
Sungguh sangat ironi. Gara-gara uang, impian yang telah lama dibangun hancur begitu saja. Ini tak terjadi pada ibuku. Mimpi ibu untuk menjadi seorang guru semakin kuat. Walaupun ibu tak dapat menjadi guru dalam artian yang sesungguhnya. Ibu tetap menjadi guru bagi anak-anaknya. Guru terbaik yang pernah aku dapatkan.

Ibu selalu ada untukku. Setiap menit, setiap detik, setiap saat ibu selalu di sampingku saat gundah dan bahagia menyelimuti hatiku. Perhatian dan kasih sayangnya tak pernah padam semenjak aku masih berada dalam kandungan sampai saat ini. Walaupun jarak memisahkan kita, belaian kasih sayangnya masih kurasakan, detak jantungnya masih kudengarkan. Ibu adalah nafas bagiku. Tak ada ibu. Aku pun tak akan pernah ada.

Tik tik tik. Bunyi hujan masih terdengar. Kutatap jalanan yang tergenang air hujan. Dalam anganku, terlukis bayangan seorang wanita paruh baya tersenyum manis padaku. Raut wajahnya bersinar, matanya yang teduh tampak bercahaya, memancarkan rasa kebahagiaan yang tak ternilai harganya. Anak semata wayangnya telah diterima di sebuah PTN terkemuka. Ia juga diterima di jurusan yang selalu didambakan ibunya. Kelak ia akan berdiri di depan anak-anak yang telah dititipkan oleh orang tua mereka untuk mendapatkan sentuhan ilmu dan budi pekerti.

Di malam kelulusanku dan terakhir mengenakan seragam putih abu-abu, ibu datang padaku. Ibu menanyakan ke mana arah hidupku akan tertuju. Lalu, aku menceritakan semua mimpi-mimpi yang telah aku bangun sejak pertama kali aku tak akan pernah bertemu ayah lagi. Aku ingin menjadi seorang dokter dan memiliki sebuah rumah sakit. Aku ingin mengabdikan diriku pada masyarakat yang kurang beruntung seperti diriku. Aku ingin anak-anak mereka tak seperti diriku. Kehilangan sosok ayah.
Ketika itu, ayah mengalami kecelakaan. Keadaannya sangat parah. Dokter mengatakan bahwa ayah harus segera dioperasi. Lagi-lagi uang. Kami tak punya uang sesen pun untuk membiayai operasi ayah. Ibu berusaha meminta keringanan kepada pihak rumah sakit. Namun, mereka hanya berkata, “Maaf, kami hanya menjalani prosedur. Kami bisa manjalankan operasi jika setengah dari biaya operasi terbayar”. Apakah prosedur lebih penting dari pada nyawa? Entah apa yang dipikirkan mereka.

Aku tak bisa berbuat apa-apa untuk ayah. Yang kulakukan hanya duduk terpaku melihat ibu pontang panting mencarikan pinjaman uang untuk biaya operasi ayah. Gadis berusia 13 tahun ini hanya bisa mendoakan ayah, memohon kepada Allah untuk menyembuhkan ayah dan menolong ibu. Setelah bersusah payah mencari uang ke sana ke mari, akhirnya ibu mendapatkannya juga. Tapi, usaha ibu tak bisa menolong ayah. Saat ibu mengurus segalanya. Ayah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Mendengar hal itu, ibu tak sadarkan diri. Tapi, ibu bisa menguasai keadaannya. Kami hanya bisa pasrah dan menyerahkan semuanya ke Allah, Sang Pencipta. Inilah jalan yang harus kami lewati.

Uang telah membuat aku kehilangan ayah dan tak akan pernah bertemu dengan ayah lagi. Hanya foto yang bisa kupandang jikalau rindu kembali datang. Sejak itu, aku bertekad untuk mengubah semuanya. Prosedur-prosedur yang tak memihak kepada rakyat kecil.

Aku bukanlah orang yang mudah menolak permintaan orang apalagi ini adalah permintaan ibu. Ibu kandungku sendiri. Bukan orang lain. Sebenarnya bukanlah sebuah permintaan melainkan hanya sebuah harapan seorang ibu kepada anaknya. Melihat air muka ibu berubah. Hatiku luluh. Hatiku pun hancur beserta hancurnya bangunan mimpi-mimpi itu. Aku harus bisa melakukan itu, memenuhi harapan ibu untuk menjadi seorang guru. Walaupun kutahu ibu tak pernah memaksaku untuk melakukannya.
02.50. Aku terjaga dari tidurku.
Seperti biasanya, aku pergi ke kamar mandi, mengambil air wudhu. Kemudian bersujud, memohon ampun atas semua dosa-dosa yang pernah kulakukan, bersyukur atas semua nikmatNya yang kuterima selama nyawa masih bersama jasad. Ini yang selalu diajarkan ibu kepadaku. Bangun tengah malam. Mengerjakan sholat dua rakaat.

Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.
(Al Israa’:79)

Tatkala aku akan menuju ke kamarku, aku mendengar tangisan. Tangisan siapa itu? Itu terdengar dari kamar ibu. Kubuka pelan-pelan kamar itu. Dengan balutan kain putih yang selalu dipakainya untuk sholat, kulihat ibu bermunajat kapada Allah. Ibu mendoakan diriku, mendoakan ayah juga, memohon pengampunan keluarga kami. Dengan linangan air mata, ibu memohon kepada Allah agar apa yang kuinginkan tercapai, ridho dengan keputusan yang kuambil selama masih di jalur yang benar dan lurus. Aku tak kuasa melihat lelehan air mata ibu. Air mata yang tak pernah aku lihat sebelumnya. Walaupun di saat maut menjemput ayah. Ibu terlihat tegar. Ibu tak pernah berbagi kesedihan pada orang lain apalagi dengan diriku.

Ibu, aku akan menjadi seperti yang engkau inginkan. Surga ada di telapak kakimu. Ridhomu dekat sekali dengan ridho Allah.

Hari keberangkatanku semakin dekat. Semua persiapan sudah selesai. Tinggal menunggu waktu keberangkatan. Daftar-daftar perlengkapan yang harus aku bawa sudah tidak ada lagi. Ibu mendekat padaku, duduk di sisi ranjangku. Sementara aku menyiapkan pakaian untuk kukenakan besok.

“Ibu, hanya bisa mendoakanmu. Ibu tak bisa memberimu apa-apa. Ibu tak punya apapun untuk kau jadikan bekal”
“Ibu....”
“Ibu hanya berpesan. Jangan melupakan sholat wajib dan sholat-sholat sunnah yang sering kau lakukan di rumah. Tetaplah tersenyum bagaimanapun keadaannya. Wanita itu sosok yang kuat jika ia tak menganggap dirinya lemah”
“Ibu... pesan ibu adalah bekal hidupku. Doamu adalah kekuatanku. Kasih sayangmu adalah nafas bagiku.”

Kupeluk ibu erat-erat. Linangan air mata kembali berurai. Ini adalah hari terakhirku bisa memeluk bunda.
Besok, besok, dan besok aku tak bisa sesering ini memeluk ibu. Pelukan yang hangat. Dan pelukan penyemangat hidupku.

Kenangan yang telah lama kusimpan membuat diriku kembali ke masa itu. Tak kusadari pipiku telah basah karena air mata. Air mata sedih, air mata bahagia, dan air mata kerinduan. Rindu pelukannya, belaiannya yang hangat. Raut wajah ibu masih tersimpan dalam ingatanku. Aku tak akan pernah bisa melupakan ibu.

Allahu Akbar. Allahu Akbar. Berkumandang adzan. Waktu maghrib telah tiba. Aku bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslim.

Robbighfir lii wa li waalidayya warhamhumaa kamaa robbayaanii shoghiiroo. Ya Allah. Ampunilah aku, ibu bapakku dan kasihilah keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil. Amin.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar